Text
KOMPARASI PENETAPAN PENGADILAN TENTANG PERUBAHAN JENIS KELAMIN DALAM PERSPEKTIF UU NO. 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN
Perkawinan merupakan tindakan yang diperbuat oleh manusia dengan maksud mewujudkan hasratnya untuk membangun keluarga dan menghasilkan keturunan yang dilandasi atas hukum. Perkawinan dapat dilangsungkan apabila orang patuh pada kaidah hukum yang berlaku. Maksud manusia melangsungkan perkawinan antara lain agar mempunyai keturunan (afstamming). Istilah afstamming merupakan hubungan darah yang terjalin antara orang tua dan anaknya.[ Sri Soesilowati Mahdi, Surini Ahlan Sjarif dan Akhmad Budi ahyono, Hukum Perdata: Suatu Pengantar, Jakarta: Gitama Jaya, 2005, hlm. 98.] Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 (yang selanjutnya disebut UU Perkawinan), yang menyatakan: “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Perkawinan Menurut Pasal 1 UU Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal. Selain itu, membangun keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal tersebut secara jelas harus dilandasi pada Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan demikian dapat diartikan bahwa agama dan keyakinan masing-masing menjadi dasar dalam perkawinan.[ Riduan Syahrani, Seluk-beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Bandung: PT Alumni, 2004, hlm. 63.] Menurut Hazairin dalam bukunya Tinjauan Mengenai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang dikutip oleh Riduan Syahrani pada buku Seluk-beluk dan Asas-asas Hukum Perdata menjelaskan bahwa: “… bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk kawin dengan melanggar hukum agamanya sendiri. Demikian juga bagi orang Kristen dan bagi orang Hindu atau Hindu Budha seperti yang dijumpai di Indonesia
No copy data
No other version available